Image ; rumisufi.blogspot.com |
Al-Junayd ibn Muhammad ibn al-Junayd Abu Qâsim al-Qawârîrî al-Khazzâz al-Nahawandî al-Baghdadī al-Shâfī’ī,[1] atau lebih dikenal dengan Al-Junayd Al-Baghdadî, lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Imam Syafi’I, dan ahirnya menjadi qadi kepala di Baghdad. Dia mempelajari ilmu fiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i,
Al-Junayd mempelajari ilmu tasawuf dari pamannya sendiri, Syekh as-Sari as-Saqti hinggap pada ahirnya ketinggian ilmu al-Junayd menjadi dirinya sebagai ulama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Demikianlah, bahwa kecintaannya terhdap ilmu tasawuf sangatlah tinggi, hal ini diungkapkannya dengan berkata: “Apabila saya telah mengetahui suatu ilmu yang lebih besar dari Tasawuf, tentulah saya telah pergi mencarinya, sekalipun harus merangkak.”[2]
Beliau merupakan tokoh paling terkemuka dalam dunia Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar sebagai "Sayyidush Shufiyah" (Pangeran Kaum Sufi). Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam Islam. Ia menjelaskan teori-teorinya dalam pengajaran-pengajarannya serta dalam serangkaian suratnya (yang hingga kini masih ada) yang ditujukan kepada sejumlah tokoh pada masanya. Al-Junaid merupakan seorang sufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tasawuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tasawuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tasawuf dan kemurnian ajaran Islam.[3]
Dari risalah-risalah yang ditulisnya maupun keterangan dari para tokoh sufi sesudahnya, dapat dipandang bahwa jalan hidup Imam Junayd al-Baghdadi merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Tuhan. Bagi al-Junayd al-Baghdadi, cinta Spritual / mahabbah berarti, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat pencinta.” [4]
Imam Junayd terkenal sebagai tokoh sufi yang sangat konsen dengan dunia tasawuf yang digelutinya. Bahkan bagi beliau tidak ada ilmu di dunia ini yang lebih tinggi dari tasawuf. Dalam hal keteguhan pada tasawuf inilah beliau mengatakan, “Apabila saya mengetahui ilmu yang lebih besar dari tasawuf, tentulah saya pergi mencarinya, sekalipun harus dengan cara merangkak.”
Menurut Al-Junayd al-Baghdadi Tasawuf adalah Mengenal Allah, dengan melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk dan melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah SWT serta Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT. Dimana semuanya tidak terlepas dengan keterkaitan antara syari’at dan hakekat yang dilandasi dengan ajaran-ajaran dari al-Qur’an dan Hadis. Sementara Aplikasi zuhud, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah). [5)
Pada akhir perjalanan hidupnya, Al Junaid diakui banyak muridnya sebagai imam. Sehubungan dengan itu, dalam pandangan Sa’id Hawwa, seorang tokoh sufi kontemporer, ada beberapa sufi yang dapat diterima oleh umat Islam, salah satunya adalah Al Junaid Al Baghdadi ini, di samping tokoh-tokoh lain, seperti Al Ghazali (w.505 H/1111 M). Al Junaid meninggal dunia pada Jumat, 298 H / 910 M (versi lain: 297 H/910 M) dan dimakamkan di dekat makam pamannya sekaligus gurunya, Imam Sarri al-Saqathi, di Baghdad.
Semoga bermanfaat...