Nasrudin sedang dalam perjalanan dengan pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka tinggal sepotong kecil roti. Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi paling relijius.
Tidurlah mereka.Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: "Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib.
Itu adalah tanda yang istimewa sekali."Yogi menukas, "Itu memang istimewa.
Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai."Nasrudin berkata, "Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda 'Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga
Nasrudin sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran Penciptanya. "Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu. Segala yang tampak oleh mataku. Tampak seperti wujud-Mu."
Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada orang jelek dan dungu lewat di depan matamu ?"
Nasrudin berbalik, menatapnya, dan menjawab dengan konsisten: "Tampak seperti wujudmu."
Tidurlah mereka.Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: "Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib.
Itu adalah tanda yang istimewa sekali."Yogi menukas, "Itu memang istimewa.
Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai."Nasrudin berkata, "Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda 'Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga
Nasrudin sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran Penciptanya. "Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu. Segala yang tampak oleh mataku. Tampak seperti wujud-Mu."
Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada orang jelek dan dungu lewat di depan matamu ?"
Nasrudin berbalik, menatapnya, dan menjawab dengan konsisten: "Tampak seperti wujudmu."
Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
Hari Jum`at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,
"Api ! Api ! Api !"
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,
"Dimana apinya, Mullah ?"
Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya, "Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."
Kebetulan Nasrudin sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena ingin tahu, Nasrudin mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan tidak ramah.
"Menjauhlah engkau, hai mullah!" teriak pengawal. [Nasrudin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya] "Mengapa ?" tanya Nasrudin.
"Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah !" "Tapi mengapa rakyat harus menjauh ?"
"Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah !"
"Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana ?"
kata Nasrudin sambil beranjak dari tempatnya
Istri Nasruddin menginginkan binatang piaraan, maka ia membeli seekor kera. Nasruddin tidak senang.
"Apa makanannnya?" tanyanya.
"Sama dengan yang kita makan", jawab istrinya.
"Dimana kera itu akan tidur?"
"Di tempat tidur kita, bersama kita."
"Bersama kita? Baunya bagaimana?"
"Kalau saya saja betah dengan bau itu, saya kira kera juga tahan".
Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,
"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."
Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,
"Dimana apinya, Mullah ?"
Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya, "Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."
Kebetulan Nasrudin sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena ingin tahu, Nasrudin mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan tidak ramah.
"Menjauhlah engkau, hai mullah!" teriak pengawal. [Nasrudin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya] "Mengapa ?" tanya Nasrudin.
"Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah !" "Tapi mengapa rakyat harus menjauh ?"
"Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah !"
"Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana ?"
kata Nasrudin sambil beranjak dari tempatnya
Istri Nasruddin menginginkan binatang piaraan, maka ia membeli seekor kera. Nasruddin tidak senang.
"Apa makanannnya?" tanyanya.
"Sama dengan yang kita makan", jawab istrinya.
"Dimana kera itu akan tidur?"
"Di tempat tidur kita, bersama kita."
"Bersama kita? Baunya bagaimana?"
"Kalau saya saja betah dengan bau itu, saya kira kera juga tahan".
Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,
"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."
Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."