Senin, 27 November 2017

Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai (Ibnu ‘Arabi )

Link Image
Ibnu ‘Arabi Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai, sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis.

Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi.


Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).

Dalam perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi bermukim sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’, seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.
Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis.

Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang. (http://tapsikusuka.blogspot.co.id/)

“Ibnu Arabi adalah  ulama’ sufi yang terkenal dengan Paham Wahdat al-Wujud  yang bermakna satu kesatuan, maksudnya yaitu antara makhluk dan sang Khalik jika dilihat dari hakekatnya pada dasarnya satu tidak ada perbedaan.  Sang Khalik sebagai wujud yag hakiki, sedangkan makhluk hanyalah bayangan dari sang khalik yang menyimpan sifat-sifat dari Allah SWT.


Konsep ini banyak Banyak menimbulakan pertentangan dari ulama’ sufi mengenai ajaran tersebut. Mereka beranggapan bahwa paham wahdat al-wujud  mulai melenceng jauh dari pemahaman tasawuf pada dasarnya”. 

Konsep Tentang Wahdatul Wujud

Dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak“ yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apa pun. di halaman lain dari kitab futuhat dia menulis “ pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT adalah zat yang awal, yang tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada sesuatupun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang tidak berhajat pada alam semesta.

Ibnu ‘Arabi dikenal dengan pembawa ajaran wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu yaitu hanya ada satu wujud yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin. Ibnu ‘Arabi pernah berkata wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi cermin berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan wajah sama dan satu itu pun tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun Tuhan itu esa tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis jenis.
Inti ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya baying-bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh a lam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu" wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.

Ibnu ‘Arabi menggambarkan bentuk tajalli dengan simbol wajah dengan cermin, diibaratkan semisal kita ingin melihat wajah kita, kita tidak dapat melihatnya kecuali dalam cermin, yang nantinya kelihatan dalam cermin kelihatan gamblang dan jelas, tetapi kita tahu bahwa satu-satunya wajah yang riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang terpantul dalam cermin. Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan.

Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai yang zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah manifestasi” yakni di dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya sebagai yang batin, karena menurut definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak dapat dijangkau dan diketahui di dalam kosmos ini.

Setiap makhluk merupakan wadah manifestasi bagi wujud demikian juga masing-masing adalah bentuk (shurah) dari wujud. tidak ada kosmos dapat memiliki wujud selain berasal dari al-Haqq, sebuah hadits berbunyi “Bahwa Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya sendiri. Ibnu ‘Arabi menunjukkan banyak sekali fakta bahwa hadits menggunakan nama Tuhan-(Allah) yakni nama yang komprehensif yang menjadi rujukan semua nama selain Tuhan. oleh karena itu Manusia diciptakan lengkap dengan kemampuan potensialnya untuk menampilkan Tuhan sebagai Tuhan, yakni Tuhan yang di namai seluruh nama-nya, sementara makhluk lainnya di dalam kosmos hanya mampu menyuguhkan nama Tuhan tertentu saja dan terbatas.
Bagi Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, Tuhan dan alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak seperti dalam uraian al-Qur’an bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin) sekaligus yang tampak (al-Dzahir), yang esa (al-Wahid) sekaligus yang banyak (al-Katsir), yang terdaulu (al-Qadim) sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada (al-Wujud) sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus sifat kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen eksistensi sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.

Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu ‘Arabi sebagai berikut:

 “Maha suci Tuhan yang lelah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”

Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (penyembah) dengan ma 'bud (yang disembah). Bahkan antara yang penyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau antara Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu. tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat diri-Nya, Dia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-Haqq. Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-Haqq.
Untuk menjelaskan ontologis Tuhan dan alam semesta, Ibnu ‘Arabi menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. simbol ini pertama. untuk menjelaskan sebab penciptaan alam yakni bahwa penciptaan alam ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah harta simpanan (kanz nahfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai hadits Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua untuk menjelaskan hubungan yang satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. yakni Tuhan yang bercermin adalah satu tetapi gambar-nya banyak dan beragam. Dan apa yang tampak dalam cermin adalah dia, sama sekali bukan selainya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.

Penggambaran tersebut sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih, imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifatsifatnya. Dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “huwa la huwa” (Dia bukan Dia-yang kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan, tetapi tidak akan pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya.

Ibnu ‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas manifestasi sempurna wujud dalam peran Manusia di dalam kosmos. dengan doktrinya yang terkenal ”manusia sempurna” yakni manusia yang mampu mengaktualisasikan semua potensialitas batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan secara lengkap dan total. Di satu pihak dalam Manusia sempurna yang sangat berbeda dengan makluk lain. manusia yang mampu mewujudkan kausalitas yang terpuji. Insan kamil ini menjadi teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang dan segala kebaikan moral serta spiritual manusia. Mereka membibing individu dan masyarakat ke tingkatan tertinggi yakni Tuhan, dan insane kamil bertindak mencerminkan tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada kebahagiaan tertinggi di alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia seperti Nabi dan para auliya’.


Manusia sempurna adalah tujuan Tuhan dalam menciptakan kosmos tatkala disadari melalui insan kamil lah. Dia dapat menampakkan sifat-sifat-Nya secara total, hanya di dalam diri insan kamil saja terbentang kesempatan bagi wujud untuk menggapai kesempurnaan, tidak ada makhluk selain Manusia yang memiliki kesiapan yang dibutuhkan dalam menampilkan sifat Tuhan. jika wujud di dalam esensinya yang tidak tampak, maka ia sepenuhnya bukan fenomenalnya, hanya di dalam diri manusia sempurna (insan kamil) yang sanggup menampilkan setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan keseimbangan secara sempurna. (http://tapsikusuka.blogspot.co.id/)

Komentar