Link Image |
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah
pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn
’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad)
sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi
dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi.
Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota
Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang
paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa
pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun
menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi.
Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi
bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama
Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn
’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah
ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian,
ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari
Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami
Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan
Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai
seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi
(606-673/1210-1274).
Dalam perjalanan menyertai
kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi bermukim sementara waktu di
Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’, seseorang yang memperoleh
kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi
melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci Mekkah dan
Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I
(607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan
ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini
dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat
dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin
(Shalah al-Din) al-Ayyubi.
Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi
menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk
al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia
menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut,
penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah
seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn
’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang
ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri
dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut.
Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang
dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan
eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis.
Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada
16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh
tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh
Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang. (http://tapsikusuka.blogspot.co.id/)
“Ibnu Arabi adalah ulama’ sufi yang terkenal dengan Paham Wahdat
al-Wujud yang bermakna satu kesatuan,
maksudnya yaitu antara makhluk dan sang Khalik jika dilihat dari hakekatnya
pada dasarnya satu tidak ada perbedaan. Sang
Khalik sebagai wujud yag hakiki, sedangkan makhluk hanyalah bayangan dari sang
khalik yang menyimpan sifat-sifat dari Allah SWT.
Konsep ini banyak Banyak
menimbulakan pertentangan dari ulama’ sufi mengenai ajaran tersebut. Mereka
beranggapan bahwa paham wahdat al-wujud
mulai melenceng jauh dari pemahaman tasawuf pada dasarnya”.
Konsep Tentang Wahdatul Wujud
Dalam kitabnya Al-Futuhat
Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak“ yaitu zat
yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apa pun. di
halaman lain dari kitab futuhat dia menulis “ pertama-tama yang harus diketahui
bahwa Allah SWT adalah zat yang awal, yang tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya
tidak ada sesuatupun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak
membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang tidak
berhajat pada alam semesta.
Ibnu ‘Arabi dikenal dengan
pembawa ajaran wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang menyatakan bahwa wujud itu
sesungguhnya hanya satu yaitu hanya ada satu wujud yang sejati, yakni Allah SWT
(al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat)
dari wujud yang sejati tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud
sejati tau mutlak seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam
digambarkan lewat wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin.
Ibnu ‘Arabi pernah berkata wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah
yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi
cermin berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan wajah
sama dan satu itu pun tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun
Tuhan itu esa tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis
jenis.
Inti ajaran Tasawuf wahdatul
wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan
hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya,
sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta.
Yang tampak hanya baying-bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang
merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena
seluruh a lam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya
Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu" wujud, yaitu wujud Tuhan,
sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Ibnu ‘Arabi menggambarkan bentuk
tajalli dengan simbol wajah dengan cermin, diibaratkan semisal kita ingin
melihat wajah kita, kita tidak dapat melihatnya kecuali dalam cermin, yang
nantinya kelihatan dalam cermin kelihatan gamblang dan jelas, tetapi kita tahu
bahwa satu-satunya wajah yang riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang
terpantul dalam cermin. Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan.
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa
wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai yang zhahir memperlihatkan
dirinya dalam suatu “wadah manifestasi” yakni di dalam kosmos itu sendiri.
Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya sebagai yang batin, karena menurut
definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak dapat dijangkau dan diketahui di dalam
kosmos ini.
Setiap makhluk merupakan wadah
manifestasi bagi wujud demikian juga masing-masing adalah bentuk (shurah) dari
wujud. tidak ada kosmos dapat memiliki wujud selain berasal dari al-Haqq,
sebuah hadits berbunyi “Bahwa Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya sendiri.
Ibnu ‘Arabi menunjukkan banyak sekali fakta bahwa hadits menggunakan nama
Tuhan-(Allah) yakni nama yang komprehensif yang menjadi rujukan semua nama
selain Tuhan. oleh karena itu Manusia diciptakan lengkap dengan kemampuan
potensialnya untuk menampilkan Tuhan sebagai Tuhan, yakni Tuhan yang di namai
seluruh nama-nya, sementara makhluk lainnya di dalam kosmos hanya mampu
menyuguhkan nama Tuhan tertentu saja dan terbatas.
Bagi Ibnu ‘Arabi alam semesta
adalah penampakan (tajalli) Tuhan, Tuhan dan alam semesta tidak bisa dipahami
kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis. kontradiksi
ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak
seperti dalam uraian al-Qur’an bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin)
sekaligus yang tampak (al-Dzahir), yang esa (al-Wahid) sekaligus yang banyak
(al-Katsir), yang terdaulu (al-Qadim) sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada
(al-Wujud) sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas
adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus
sifat kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen
eksistensi sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir
secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua
yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik
pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khalik dan makhluk) dari segi
hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan makhluk
ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal
yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari
kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul
dalam ucapan Ibnu ‘Arabi sebagai berikut:
“Maha suci Tuhan yang lelah menjadikan segala
sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam
pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada
perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang baru
yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (penyembah) dengan ma
'bud (yang disembah). Bahkan antara yang penyembah dan yang disembah adalah
satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya
Kalau antara Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua?
Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang
satu. tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik
dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang
keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang
satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu
yang tidak terbilang dan berpisah.
Paham wahdatul wujud timbul dari
filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian
diciptakanlah alam sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap
kali ingin melihat diri-Nya, Dia melihat alam karena pada setiap benda alam
terdapat aspek al-Haqq. Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya banyak,
sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-Haqq.
Untuk menjelaskan ontologis Tuhan
dan alam semesta, Ibnu ‘Arabi menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai
cermin bagi Tuhan. simbol ini pertama. untuk menjelaskan sebab penciptaan alam
yakni bahwa penciptaan alam ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya.
Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah harta simpanan (kanz
nahfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai hadits Rasul yang
menyatakan hal itu. Kedua untuk menjelaskan hubungan yang satu dengan yang
banyak dan beragam dalam semesta. yakni Tuhan yang bercermin adalah satu tetapi
gambar-nya banyak dan beragam. Dan apa yang tampak dalam cermin adalah dia,
sama sekali bukan selainya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.
Penggambaran tersebut sejalan
dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih, imanen dan transenden yang
digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam
tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifatsifatnya. Dari segi tanzih
Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan
adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “huwa la huwa”
(Dia bukan Dia-yang kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan,
tetapi tidak akan pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu dengan asma dan
sifat-sifatnya menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya.
Ibnu ‘Arabi membuat keterkaitan
yang sangat jelas manifestasi sempurna wujud dalam peran Manusia di dalam
kosmos. dengan doktrinya yang terkenal ”manusia sempurna” yakni manusia yang
mampu mengaktualisasikan semua potensialitas batinnya sesuai sifat dan asma
Tuhan secara lengkap dan total. Di satu pihak dalam Manusia sempurna yang
sangat berbeda dengan makluk lain. manusia yang mampu mewujudkan kausalitas
yang terpuji. Insan kamil ini menjadi teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang
dan segala kebaikan moral serta spiritual manusia. Mereka membibing individu
dan masyarakat ke tingkatan tertinggi yakni Tuhan, dan insane kamil bertindak
mencerminkan tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada kebahagiaan tertinggi di
alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia seperti Nabi dan para auliya’.
Manusia sempurna adalah tujuan
Tuhan dalam menciptakan kosmos tatkala disadari melalui insan kamil lah. Dia
dapat menampakkan sifat-sifat-Nya secara total, hanya di dalam diri insan kamil
saja terbentang kesempatan bagi wujud untuk menggapai kesempurnaan, tidak ada makhluk
selain Manusia yang memiliki kesiapan yang dibutuhkan dalam menampilkan sifat
Tuhan. jika wujud di dalam esensinya yang tidak tampak, maka ia sepenuhnya
bukan fenomenalnya, hanya di dalam diri manusia sempurna (insan kamil) yang
sanggup menampilkan setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan keseimbangan secara
sempurna. (http://tapsikusuka.blogspot.co.id/)