Suhrawardi al-Maqtul adalah Abu al-Futuah Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar : Shaikh al-Ishraq, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.
Sebagaimana umumnya para intelektual muslim, Suhrawardi juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya. Wilayah pertama yang ia kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan Azerbaijan. Di kota ini ia belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk memperdalam kajian filsafat ia juga berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini. Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan guru filsafat yang sangat berpengaruh bagi Suhrawardi.
Pengembaraan ilmiahnya kemudian berlanjut ke Is}fahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada Zahir al-Din al-Qari. Dia juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan al-Sawi. Dari Isfahan ia melanjutkan perjalanannya ke Anatolia Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia yang merupakan “gudang” tokoh-tokoh sufi. Di sini ia tertarik kepada ajaran tasawuf dan akhirnya menekuni mistisisme. Dalam hal ini Suhrawardi tidak hanya mempelajari teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, tetapi sekaligus mempraktekkannya sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang zahid yang menjalani hidupnya dengan ibadah, merenung, kontemplasi, dan berfilsafat. Dengan pola hidup seperti ini akhirnya dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian sekaligus, yakni filsafat dan tasawuf. Dengan demikian ia dapat dikatakan sebagai seorang filosof sekaligus sufi.
Perjalanannya berakhir di Aleppo, Syria. Di sini ia berbeda pandangan dengan para fuqaha sehingga akhirnya ia dihukum penjara oleh gubernur Aleppo Malik al-Zahir atas perintah ayahnya Sultan Salahuddin al-Ayyubi di bawah tekanan para fuqaha yang tidak suka dengan pandangannya. Akhirnya Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191 M/578 H dalam usia 36 tahun (kalender Shamsiyyah) atau 38 tahun (kalender qamariyyah). Namun demikian penyebab langsung kematiannya tidak diketahui secara pasti, hanya menurut Ziai ia mati karena dihukum gantung. Kematiannya yang tragis ini merupakan konsekuensi yang harus ia terima atas pandangannya yang berseberangan dengan para tokoh pada masa itu.
Karya-karya Suhrawardi
Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.
a. Karya Pertama adalah Kitab induk Filsafat Iluminasinya, antara lain :
- At-Talwihat (Pemberitahuan),
- Al-Muqawwamat (Yang Tepat),
- Al-Masyari wa Al-Mutarahat (Jalan dan Pengayoman),
- Al-Hikmah Al-Isyraq (Filsafat Pencerahan).
Karya Hikmah al-Ishraq memuat tiga subyek yang mendasari bangunan filsafat iluminasinya, yaitu:
- Mengenai alasan-alasan Suhrawardi menyusun Hikmat al-Ishraq.
- Metodologi Hikmat al-Ishraq
- Memuat hal-hal yang mendasari bangunan filsafat iluminasi, yaitu pandangan Suhrawardi tentang sejarah filsafat.
b. Karya Kedua adalah risalah ringkas filsafat, antara lain:
- Hayakil An-Nur (Rumah Suci Cahaya)
- Al-Alwah Al-Imadiyah (Lembaran Imadiyah)
- Partaw-Namah (Uraian Tentang Tajalli),
- Bustan Al-Qulub (Taman Kalbu). Selain berbahasa Arab, risalah ini ada juga yang ditulis dalam bahasa Persia.
c. Karya ketiga berupa kisah perumpamaan, antara lain:
- Qishshah Al-Gurbah Al-Garbiyyah (Kisah Pengasingan ke Barat),
- Risalah Ath-Thair (Risalah Burung), Buku ini banyak membahas karya Ibnu Sina, yakni kitab Isyyarah wa Tanbihat.
- Awz-i pari-i Jibra’il (Suara Sayap Jibril),
- Aql-i-surkh (Akal Merah),
- Ruzi ba Jama’at-i Sufiyan (Sehari dengan Para Sufi),
- Fi Haqiqah at-Isyaq (Hakikat Cinta Ilahi), Pembahasan buku ini juga tentang filsafat Masyriqiyah Ibnu Sina.
- Fi Halah Ath-Thufuliyyah,
- Lugah Al-Muran (Bahasa Semit),
- Safir-i Simurgh (Jerit Merdu Burung Pingai). Kisah ini memiliki nilai sastra yang tinggi
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
Pemikiran Teosofis Suhrawardi
Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang membagi arah pemikiran tiap akal yang dihasilkan ke dalam tiga posisi : 1) posisi akal-akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, 2) sebagai mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3) sebagai mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi memunculkan jirm al-falak al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak al-muharrik. Begitu seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang menyebabkan adanya alam. (Gambaran lengkap mengenai emanasi al-farabi dan Ibn Sina lihat lampiran 1 dan 2).
Sebagai pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Mengacu pada proses penerimaan cahaya yang digambarkan di atas, maka dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran, cahaya IV memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali pancaran, cahaya VI memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali pancaran, cahaya VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256 kali pancaran, dan cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu seterusnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di bawah akan menerima pancaran sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat di atasnya.
Senada dengan teori emanasi, teori iluminasi ini juga membentuk susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya pertama sampai cahaya kesepuluh secara berturut-turut, adalah The great sphere of diurnal motion, the sphere of fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere of Jupiter, the sphere of mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the sphere of mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam Surat al-Nuur ayat 35 berikut ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.
Sumber ;
https://ihsanmaulana.wordpress.com/
https://syafieh.blogspot.com/
Sumber ;
https://ihsanmaulana.wordpress.com/
https://syafieh.blogspot.com/